DUSTA
Oleh Hafizhah
Malam
mulai larut. Rembulan dan bintang-bintang bergantungan di tengah petala langit.
Jangkrik-jangkrik sibuk menyanyikan lagu merdunya. Anjing menggonggongkan suara
lantangnya. Angin malam mulai menyeruak masuk menggigit tulang. Tapi panasnya
suhu udara tadi siang masih terasa. Fani menyalakan kipas angin. Ia rebahkan
badannya di atas kasur. Perlahan matanya yang sudah sayu menahan kantuk mulai
menutup.
“Ping!!!”
pekik handphone di sampingnya. Ia
terkejut. Tapi tak dihiraukannya BBM
yang masuk ke handphone nya. Ia pun
melanjutkan tidurnya. Belum sampai jarum panjang pada jam berotasi sebesar
sembilan puluh derajat, ibunya masuk ke kamarnya.
“Fani!
Bangun, Nak..” panggil ibunya sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.
“Emm..”
lirih Fani. Matanya masih tertutup.
“Yudit dan Afnan datang.
Mereka menunggumu di ruang tamu,” jelas ibunya sambil menarik tangannya agar ia
segera bangkit.
Fani pun bangkit dari tempat
tidurnya. Kantuk masih bersarang di kelopak matanya. Tapi ia paksakan badannya yang
masih sempoyongan dan kakinya yang masih lemas untuk berjalan menuju ruang
tamu.
“Ada perlu apa,
Dit, Af?” tanya Fani kepada kedua temannya.
“Kami cuma mau silaturahmi,”
jawab Afnan.
“Malam-malam
begini?”
“Lha, kan belum jam delapan. Kamu saja
yang tidurnya terlalu cepat. Kenapa BBM
ku nggak kamu read?” tanya Yudita.
“Aku
capek, Dit. Seharian aku melayani tamu yang datang ke sini,” jelas Fani.
“Oh..”
lirih Yudita dan Afnan serentak.
“Kalian
dari mana?”
“Kami
dari rumah Pak Ahmad, latihan tilawah untuk lomba MTQ. Tapi ia sedang sakit.
Jadi kami disuruh pulang,” jelas Afnan.
“Oh,
begitu. Eh, malam ini ada acara bedah film di taman kota kan?” tanya Fani.
“Iya.
Bagaimana kalau kita pergi ke sana? Kami bawa undangannya,” ajak Yudita.
“Boleh.
Tapi ibumu mengizinkanmu tidak?”
“Ibu
pasti mengizinkanku.”
“Hubungi
dulu ibumu,” saran Afnan kepada Yudita.
“Ah,
tidak perlu. Lagian aku tidak membawa handphone.
Aku yakin ibu mengizinkanku,” kata Yudita meyakinkan.
“Baiklah kalau begitu.
Aku minta izin pada ibuku dulu. Kalian tunggu di sini,” kata Fani sambil
bangkit dari duduknya.
Fani pun berlari menuju
dapur untuk menemui ibunya yang sedang menyiapkan hidangan makan malam. Tak
lama berbincang, ia pun berlari lagi menuju ruang tamu.
“Boleh,
Dit, Af. Aku ganti baju dulu ya. Kalian tunggu di sini,” kata Fani yang segera
membalikkan badannya dan melangkahkan kaki menuju kamarnya.
“Iya, jangan lama-lama.
Kami tunggu di luar saja,” ucap Yudita sambil menarik tangan Afnan agar Afnan bangkit
dari duduknya dan keluar dari rumah.
Tak lama kemudian, Fani
keluar dari rumah dengan pakaian dan tasnya yang serba cokelat, warna
kesukaannya. Lalu diambilnya sepeda motor di garasi rumah. Mereka bertiga pun segera
pergi ke taman kota.
Taman kota sudah disesaki
oleh para tamu undangan. Kursi-kursi tamu berbaris rapi laksana pasukan perang.
Pedagang kaki lima yang menjajakan makanan berjejeran di pinggir taman kota
bagaikan meriam-meriam yang siap melontarkan bola apinya. Saat mereka bertiga sampai,
acara sudah dimulai. Merekapun masuk ke taman kota dan duduk di kursi tamu di
barisan paling belakang.
“Kriiiiing!!!
Kriiiiing!!! Kriiiiing!!!” pekik handphone
Afnan. Afnan pun langsung mengangkatnya.
“Assalamu’alaikum, Afnan. Yudita ada?”
tanya orang yang menelepon.
“Wa’alaikum salam. Ada, Bu,” jawab Afnan
setengah berbisik.
“Dit! Ibumu,” ucap Afnan
sambil mengulurkan handphone nya ke
tangan Yudita.
Yudita terperanjat. Ia
langsung mengambil handphone Afnan
dan menjauhi keramaian.
“Ya,
Bu. Ada apa?” tanya Yudita.
“Pak
Ahmad tadi menelepon ibu. Dia bilang kamu tidak jadi latihan karena dia sakit.
Kamu sekarang dimana?” tanya ibu Yudita.
“Yudit
di... di rumah Fani, Bu,” jawab Yudita gugup.
“Oh...
Ibu pikir kamu pergi kemana-mana. Ya sudah, jangan kemalaman pulangnya,” ucap
ibunya.
“Ya,
Bu.”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam,” jawab Yudita
mengakhiri pembicaraan. Ia langsung menonaktifkan handphone Afnan.
“Huh! Untung ibu tidak
marah,” katanya lega.
Yudita pun kembali ke
kursinya. Mereka bertiga menyaksikan acara hingga selesai pada pukul 21.30 WIB.
Setelah itu, mereka langsung pulang. Sesampainya di simpang empat jalan utama
yang mengarah ke rumah mereka, Afnan membelokkan sepeda motornya ke arah kanan.
Sedangkan Fani dan Yudita belok ke arah kiri. Rumah Fani dan Yudita hanya
berjarak sekitar dua kilometer. Tiba-tiba, “Ssrrrttt... Srrrttt... Ssrrrttt...”
“Dit, ban depan
motorku bocor,” kata Fani.
“Kita jalan saja terus.
Di sana ada bengkel,” kata Yudita sambil menunjuk ke arah bengkel yang
dimaksudnya.
“Kriiiiing!!!
Kriiiiing!!! Kriiiiing!!!” dering handphone
Fani tepat saat mereka sampai di bengkel. Fani mengangkatnya, tetapi tidak
tersambung.
“Ada apa, Fan?”
“Ibuku meneleponku.
Tapi sinyal di sini lemah,” jawab Fani risau.
“Dit,
kamu pulang duluan ya. Aku khawatir ibumu mencarimu,” sambung Fani.
“Jadi
kamu pulang sendiri?”
“No problem. Aku bisa pulang sendiri.
Kamu pulang saja duluan.”
“Baiklah, aku pulang
dulu,” kata Yudita sambil menarik gas sepeda motornya. Ia pun segera hilang
dari pandangan.
Fani meletakkan sepeda
motornya di bengkel itu. “Huft! Untung saja masih ada bengkel yang buka,”
lirihnya hampir tak terdengar. Sekejap saja, ban depan sepeda motornya yang
bocor sudah ditambal oleh pemilik bengkel tersebut. Ia pun melanjutkan
perjalanan. Belum lama ia meninggalkan bengkel, ibu Yudita meneleponnya. Karena
sedang berada di jalan yang gelap, ia tak berani menghentikan sepeda motornya.
Ia pun mengambil handphone dari dalam
saku baju dengan tangan kiri. Namun, tak sengaja ia menekan tombol merah.
“Aduh! Salah tekan.
Bagaimana ini?” katanya bingung. Ia takut kalau ibu Yudita mengiranya sengaja
menolak panggilan. Tapi, ada keperluan apa sehingga ibu Yudita menghubunginya
malam-malam? Ingin saja ia menelepon ibu Yudita kembali, tapi pulsanya tidak
sampai seratus rupiah. Akhirnya, ia sampai di rumah pada pukul 22.00 WIB.
“Fani!
Cepat masuk, Nak!” teriak ibunya yang tegak di teras rumahnya. Wajahnya serius.
“Ya,
Bu,” ucap Fani sambil melangkahkan kaki ke dalam rumah. Ia agak heran. Tak
biasanya ibunya menunggu di teras rumah.
“Kenapa
kamu terlambat pulang?” tanya ibunya.
“Tadi
ban depan motor Fani bocor, Bu.”
“Yudit
mana?”
“Yudit
sudah Fani suruh pulang duluan, Bu. Sekitar dua puluh menit yang lalu.
Memangnya ada apa, Bu?”
“Tadi ibu Yudit datang ke
sini. Ia bilang sesuatu kepada ibu,” jelas ibu Fani.
Mereka terdiam. Suasana
hening. Fani menunggu ibunya melanjutkan pembicaraan. Kemudian ibunya
menyampaikan apa yang dikatakan oleh ibu Yudita dan meminta penjelasan dari
Fani. Fani menceritakan kejadian sejak Yudita dan Afnan datang ke rumahnya
hingga Fani kembali ke rumahnya. Ibu Fani pun berpesan kepada Fani agar berteman
dengan orang yang jujur, bukan seorang pendusta. Akhirnya, Fani pun memutuskan
untuk mulai menjauh dari Yudita. Selesai berbincang, Fani masuk ke kamarnya dan
tidur.
***
“Assalamu’alaikum!” ucap Bu Yanti. Lalu
ia duduk di teras rumah Fani.
“Wa’alaikum salam,” jawab Bu Yuyun yang
segera keluar dari rumahnya.
“Yun! Yudita
mana?” tanya Bu Yanti.
“Yudita
pergi sama Fani dan Afnan ke taman kota untuk melihat acara bedah film, Yan,”
jawab Bu Yuyun.
“Kapan?
Barusan aku meneleponnya melalui nomor Afnan. Dia bilang kalau dia di sini.”
“Sudah dari tadi.”
“Ya
Allah.. Apa jadinya anakku ini? Dia berani berbohong denganku. Mungkin karena
pengaruh teman dekatnya,” sindir Bu Yanti.
“Maaf,
Yan. Anakku tak pernah mengajak anakmu untuk berbuat yang tidak baik,” ucap Bu
Yuyun tegas.
“Lha, kalau bukan teman dekatnya siapa lagi? Sekarang coba kamu
telepon Fani. Yudita tidak membawa handphone,”
pinta Bu Yanti.
Bu Yuyun pun langsung
mengambil handphone nya. Lalu ia
menghubungi anaknya, Fani.
“Tidak
diangkat, Yan,” kata Bu Yuyun setelah menunggu jawaban dari Fani.
“Kan
sudah kubilang. Anakmu harus benar-benar kamu didik, Yun. Kamu telepon saja tak
diangkatnya,” ucap Bu Yanti.
“Mungkin dia sedang di
jalan. Coba nanti kamu telepon dia,” ucap Bu Yuyun. Ia tak mau kalau anaknya
disalahkan.
Beberapa menit kemudian,
Bu Yanti menghubungi Fani.
“Nah, lho. Dimatikannya,
Yun. Mungkin ia sengaja menolak panggilanku. Ia mungkin takut kalau aku marah
padanya. Jangan-jangan dia memaksa anakku agar ikut dengannya ke taman kota dan
bohong padaku. Aduh! Apalah jadinya anakku ini..” ucap Bu Yanti.
Bu Yuyun terdiam. Di satu
sisi, ia ingin membela anaknya. Selama ini Fani tak pernah berbohong kepada Bu
Yuyun. Tapi, di sisi lain bisa jadi Bu Yanti benar. Fani yang tergolong ramah
dengan orang lain bisa saja terpengaruh oleh teman-temannya sehingga ia bisa
berperilaku seperti yang telah dikatakan Bu Yanti.
Tak lama kemudian, Bu
Yanti pamit. Sedangkan Bu Yuyun pergi ke teras rumahnya untuk menunggu Fani
yang belum pulang.
***
Mentari pagi menampakkan
wajahnya. Sinarnya yang terang benderang menguapkan embun-embun yang hinggap di
kaca jendela kamar Fani. Jam enam, Fani sudah siap dengan seragam putih
abu-abunya. Tak seperti biasanya, Senin ini ia tidak pergi bersama Yudita.
Setelah pamit dengan ibunya, ia mengambil sepeda motornya di garasi rumah dan
langsung pergi menuju sekolah.
“Hai,
Fan! Kenapa kamu nggak nebeng sama aku? Tadi aku ke rumahmu,”
tanya Yudita yang baru datang.
“Mulai
hari ini aku pergi sendiri saja. Terima kasih atas tumpangannya selama ini,” jawab
Fani yang sedang membaca buku di bangkunya.
“Oh, begitu. Bagus, dong!” kata Yudita.
Fani hanya diam. Ia tak
mau terlalu banyak bicara dengan Yudita. Dibolak-balikkannya lembaran-lembaran buku
pelajarannya.
“Ting tong! Ting tong! Ting
tong!” bel masuk berbunyi. Tak lama kemudian, Bu Yana masuk ke dalam kelas. Hari
ini akan diadakan ulangan harian pertama mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan. Siswa di kelas itu langsung mengumpulkan semua buku yang
berbau PKn ke atas meja Bu Yana. Ulangan pun dimulai. Bu Yana membacakan soal.
Setelah selesai, siswa di dalam kelas itu sibuk berpikir dan menuliskan jawaban
di atas selembar kertas. Tak terkecuali Fani. Ia berusaha mengingat-ingat
tulisan yang telah dibacanya tadi pagi. Matanya menerawang langit-langit kelas,
lampu, kipas angin, pintu, jendela, dan hup! Tiba-tiba matanya menangkap
pemandangan yang tak menyenangkan hatinya.
“Ehm! Ehm!” Fani mendehem
dengan kedua tangannya menggenggam di dekat mulutnya. Yudita yang merasa
tersindir langsung memasukkan kertas contekannya ke dalam laci mejanya.
“Ada
apa, Fan?” tanya Bu Yana. Ia heran melihat tingkah Fani yang cukup aneh hari
ini.
“Tenggorokan
saya sakit, Bu,” jawab Fani mengelak. Walau bagaimanapun, ia tak tega
melaporkan teman masa kecilnya yang hobi berdusta itu kepada Bu Yana.
“Ooh..
Itu tandanya kamu harus banyak minum air putih. Lain kali kamu bawa air dari
rumah seperti Afnan,” saran Bu Yana. Fani langsung melirik wajah Afnan yang
sedang mengembangkan senyuman sambil menaik-turunkan alis kirinya yang hampir
tak kelihatan.
“Iya, Bu,” kata Fani
sambil menganggukkan kepala dan menahan tawa. Ia geli hati melihat tingkah
Afnan.
Sayangnya, tingkah Afnan
yang dapat menghibur hati Fani tak dapat bertahan lama. Kebencian kembali
merasuki hatinya. “Saya tidak sakit tenggorokan, Bu! Saya sakit hati!” jerit
batinnya.
Setelah berusaha untuk
menata hati, Fani kembali menjawab soal ulangan. Sesekali ia melirik ke arah
Yudita yang kembali membentangkan kertas contekan di pangkuannya dan menyalin
tulisan di dalamnya. Fani pun bertingkah seperti cacing kepanasan. Ia ingin
waktu ulangan segera habis agar tidak ada lagi pemandangan yang ‘mengompori’
perasaannya.
Akhirnya jam pelajaran
PKn pun usai. Tak berselang lama setelah Bu Yana keluar, Pak Karia pun masuk ke
dalam kelas. Pak Karia yang mengajar palajaran Kesenian menugaskan siswa di
kelas itu untuk membuat sebuah gambar perspektif. Fani yang jago menggambar pun
sibuk menggoreskan grafit pensilnya ke atas kertas putih polos. Sesekali ia
berjalan untuk melihat-lihat karya temannya agar mendapatkan inspirasi.
Lagi-lagi matanya menangkap pemandangan yang benar-benar tak menyenangkan.
Sebuah benda di tangan Yudita yang menyendiri di pojok ruangan mengalihkan
perhatian Fani dari kertas tugasnya.
“Ehm!
Kita sedang di kelas atau di rumah ya?” sindir Fani dengan suara agak keras.
Pak Karia dan seluruh siswa di kelas itu pun menoleh ke arah Fani.
“Ya di sekolah, Fan,”
jawab Afnan yang bingung dengan pertanyaan Fani. Yudita yang merasa tersindir
langsung menyurukkan handphone nya ke
dalam saku bajunya.
Hari demi hari Fani lalui
dengan pemandangan yang tak menyenangkannya. Yudita semakin cuek dengan
perbuatan yang ia lakukan. Fani pun sudah bosan menyindir Yudita. Sekarang,
Fani lebih banyak diam. Jika tak ada hal penting yang memaksa Fani untuk
berbicara dengan Yudita, Fani tak akan mengucapkan sepatah kata pun.
Tibalah saat pembagian
Laporan Hasil Belajar semester genap. Fani mendapat peringkat tiga di kelasnya.
Sedangkan Yudita mendapat peringkat empat. Tapi, alangkah terkejutnya Fani saat
mengetahui bahwa nilai mereka berdua sama. Ia tak menyangka, kejujurannya
selama ini dalam mengerjakan ulangan dibayar sama rata dengan kertas ulangan
Yudita yang bernilai dusta. Kebencian Fani kepada Yudita pun membludak di
relung-relung hatinya dan kini berubah menjadi rasa dendam.
Afnan yang mendapat
peringkat kedua pun berinisiatif untuk menasihati dan menghibur Fani.
“Fan, selamat atas
prestasimu,” ucap Afnan sambil menyalami tangan Fani.
“Kamu mengejekku
ya?” tanya Fani.
“Tidak,
Fan. Selamat atas prestasimu mempertahankan kejujuran. Kamu hebat, Fan! Kamu
tetap jujur walaupun hatimu dikemeluti oleh kebencian.”
“Tapi
aku tak rela nilaiku sama dengan nilainya.”
“Sudahlah,
Fan. Kejujuran lebih berharga dari pada nilai rapor. Tetaplah menjadi Fani yang
jujur di kelas dua belas nanti ya..” ucap Afnan sambil menepuk bahu Fani.
“Thanks, Af!” ucap Fani sambil merangkul Afnan.
Sebulan kemudian, ratusan
siswa pun ‘dinobatkan’ menjadi siswa senior. Fani, Afnan, dan Yudita menempati
kelas yang sama. Di kelas dua belas ini, Fani memacu dirinya untuk terus
berprestasi karena persaingan semakin ketat. Sedangkan Yudita sekarang berteman
dengan pendusta lain dan sibuk melakukan kegiatan yang tiada berguna, sehingga
nilainya pun merosot jauh. Hingga tibalah saat pembagian Laporan Hasil Belajar
semester ganjil, Fani dan Afnan menempati posisi yang sama dengan sebelumnya.
Sedangkan Yudita keluar dari sepuluh besar. Fani sangat bersyukur karena Allah
memberikan pelajaran terbaik kepadanya. Dirinya berjanji untuk selalu menjadi
orang yang jujur. Tentunya dengan cara berteman dengan orang yang jujur pula.
Kini, Afnan menjadi sahabat pilihannya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar