Jumat, 24 Februari 2017

Cerita Pendek



DUSTA
Oleh Hafizhah

            Malam mulai larut. Rembulan dan bintang-bintang bergantungan di tengah petala langit. Jangkrik-jangkrik sibuk menyanyikan lagu merdunya. Anjing menggonggongkan suara lantangnya. Angin malam mulai menyeruak masuk menggigit tulang. Tapi panasnya suhu udara tadi siang masih terasa. Fani menyalakan kipas angin. Ia rebahkan badannya di atas kasur. Perlahan matanya yang sudah sayu menahan kantuk mulai menutup.

            “Ping!!!” pekik handphone di sampingnya. Ia terkejut. Tapi tak dihiraukannya BBM yang masuk ke handphone nya. Ia pun melanjutkan tidurnya. Belum sampai jarum panjang pada jam berotasi sebesar sembilan puluh derajat, ibunya masuk ke kamarnya.

            “Fani! Bangun, Nak..” panggil ibunya sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.
            “Emm..” lirih Fani. Matanya masih tertutup.
“Yudit dan Afnan datang. Mereka menunggumu di ruang tamu,” jelas ibunya sambil menarik tangannya agar ia segera bangkit.

Fani pun bangkit dari tempat tidurnya. Kantuk masih bersarang di kelopak matanya. Tapi ia paksakan badannya yang masih sempoyongan dan kakinya yang masih lemas untuk berjalan menuju ruang tamu.

“Ada perlu apa, Dit, Af?” tanya Fani kepada kedua temannya.
“Kami cuma mau silaturahmi,” jawab Afnan.
“Malam-malam begini?”
Lha, kan belum jam delapan. Kamu saja yang tidurnya terlalu cepat. Kenapa BBM ku nggak kamu read?” tanya Yudita.
“Aku capek, Dit. Seharian aku melayani tamu yang datang ke sini,” jelas Fani.
“Oh..” lirih Yudita dan Afnan serentak.
“Kalian dari mana?”
“Kami dari rumah Pak Ahmad, latihan tilawah untuk lomba MTQ. Tapi ia sedang sakit. Jadi kami disuruh pulang,” jelas Afnan.
“Oh, begitu. Eh, malam ini ada acara bedah film di taman kota kan?” tanya Fani.
“Iya. Bagaimana kalau kita pergi ke sana? Kami bawa undangannya,” ajak Yudita.
“Boleh. Tapi ibumu mengizinkanmu tidak?”
“Ibu pasti mengizinkanku.”
“Hubungi dulu ibumu,” saran Afnan kepada Yudita.
“Ah, tidak perlu. Lagian aku tidak membawa handphone. Aku yakin ibu mengizinkanku,” kata Yudita meyakinkan.
“Baiklah kalau begitu. Aku minta izin pada ibuku dulu. Kalian tunggu di sini,” kata Fani sambil bangkit dari duduknya.

Fani pun berlari menuju dapur untuk menemui ibunya yang sedang menyiapkan hidangan makan malam. Tak lama berbincang, ia pun berlari lagi menuju ruang tamu.

“Boleh, Dit, Af. Aku ganti baju dulu ya. Kalian tunggu di sini,” kata Fani yang segera membalikkan badannya dan melangkahkan kaki menuju kamarnya.
“Iya, jangan lama-lama. Kami tunggu di luar saja,” ucap Yudita sambil menarik tangan Afnan agar Afnan bangkit dari duduknya dan keluar dari rumah.

Tak lama kemudian, Fani keluar dari rumah dengan pakaian dan tasnya yang serba cokelat, warna kesukaannya. Lalu diambilnya sepeda motor di garasi rumah. Mereka bertiga pun segera pergi ke taman kota.

Taman kota sudah disesaki oleh para tamu undangan. Kursi-kursi tamu berbaris rapi laksana pasukan perang. Pedagang kaki lima yang menjajakan makanan berjejeran di pinggir taman kota bagaikan meriam-meriam yang siap melontarkan bola apinya. Saat mereka bertiga sampai, acara sudah dimulai. Merekapun masuk ke taman kota dan duduk di kursi tamu di barisan paling belakang.

“Kriiiiing!!! Kriiiiing!!! Kriiiiing!!!” pekik handphone Afnan. Afnan pun langsung mengangkatnya.
Assalamu’alaikum, Afnan. Yudita ada?” tanya orang yang menelepon.
Wa’alaikum salam. Ada, Bu,” jawab Afnan setengah berbisik.
“Dit! Ibumu,” ucap Afnan sambil mengulurkan handphone nya ke tangan Yudita.

Yudita terperanjat. Ia langsung mengambil handphone Afnan dan menjauhi keramaian.

“Ya, Bu. Ada apa?” tanya Yudita.
“Pak Ahmad tadi menelepon ibu. Dia bilang kamu tidak jadi latihan karena dia sakit. Kamu sekarang dimana?” tanya ibu Yudita.
“Yudit di... di rumah Fani, Bu,” jawab Yudita gugup.
“Oh... Ibu pikir kamu pergi kemana-mana. Ya sudah, jangan kemalaman pulangnya,” ucap ibunya.
“Ya, Bu.”
Assalamu’alaikum.”
Wa’alaikum salam,” jawab Yudita mengakhiri pembicaraan. Ia langsung menonaktifkan handphone Afnan.
“Huh! Untung ibu tidak marah,” katanya lega.

Yudita pun kembali ke kursinya. Mereka bertiga menyaksikan acara hingga selesai pada pukul 21.30 WIB. Setelah itu, mereka langsung pulang. Sesampainya di simpang empat jalan utama yang mengarah ke rumah mereka, Afnan membelokkan sepeda motornya ke arah kanan. Sedangkan Fani dan Yudita belok ke arah kiri. Rumah Fani dan Yudita hanya berjarak sekitar dua kilometer. Tiba-tiba, “Ssrrrttt... Srrrttt... Ssrrrttt...”

“Dit, ban depan motorku bocor,” kata Fani.
“Kita jalan saja terus. Di sana ada bengkel,” kata Yudita sambil menunjuk ke arah bengkel yang dimaksudnya.

“Kriiiiing!!! Kriiiiing!!! Kriiiiing!!!” dering handphone Fani tepat saat mereka sampai di bengkel. Fani mengangkatnya, tetapi tidak tersambung.
“Ada apa, Fan?”
“Ibuku meneleponku. Tapi sinyal di sini lemah,” jawab Fani risau.
“Dit, kamu pulang duluan ya. Aku khawatir ibumu mencarimu,” sambung Fani.
“Jadi kamu pulang sendiri?”
No problem. Aku bisa pulang sendiri. Kamu pulang saja duluan.”
“Baiklah, aku pulang dulu,” kata Yudita sambil menarik gas sepeda motornya. Ia pun segera hilang dari pandangan.

Fani meletakkan sepeda motornya di bengkel itu. “Huft! Untung saja masih ada bengkel yang buka,” lirihnya hampir tak terdengar. Sekejap saja, ban depan sepeda motornya yang bocor sudah ditambal oleh pemilik bengkel tersebut. Ia pun melanjutkan perjalanan. Belum lama ia meninggalkan bengkel, ibu Yudita meneleponnya. Karena sedang berada di jalan yang gelap, ia tak berani menghentikan sepeda motornya. Ia pun mengambil handphone dari dalam saku baju dengan tangan kiri. Namun, tak sengaja ia menekan tombol merah.

“Aduh! Salah tekan. Bagaimana ini?” katanya bingung. Ia takut kalau ibu Yudita mengiranya sengaja menolak panggilan. Tapi, ada keperluan apa sehingga ibu Yudita menghubunginya malam-malam? Ingin saja ia menelepon ibu Yudita kembali, tapi pulsanya tidak sampai seratus rupiah. Akhirnya, ia sampai di rumah pada pukul 22.00 WIB.

“Fani! Cepat masuk, Nak!” teriak ibunya yang tegak di teras rumahnya. Wajahnya serius.
“Ya, Bu,” ucap Fani sambil melangkahkan kaki ke dalam rumah. Ia agak heran. Tak biasanya ibunya menunggu di teras rumah.
“Kenapa kamu terlambat pulang?” tanya ibunya.
“Tadi ban depan motor Fani bocor, Bu.”
“Yudit mana?”
“Yudit sudah Fani suruh pulang duluan, Bu. Sekitar dua puluh menit yang lalu. Memangnya ada apa, Bu?”
“Tadi ibu Yudit datang ke sini. Ia bilang sesuatu kepada ibu,” jelas ibu Fani.

Mereka terdiam. Suasana hening. Fani menunggu ibunya melanjutkan pembicaraan. Kemudian ibunya menyampaikan apa yang dikatakan oleh ibu Yudita dan meminta penjelasan dari Fani. Fani menceritakan kejadian sejak Yudita dan Afnan datang ke rumahnya hingga Fani kembali ke rumahnya. Ibu Fani pun berpesan kepada Fani agar berteman dengan orang yang jujur, bukan seorang pendusta. Akhirnya, Fani pun memutuskan untuk mulai menjauh dari Yudita. Selesai berbincang, Fani masuk ke kamarnya dan tidur.

***

Assalamu’alaikum!” ucap Bu Yanti. Lalu ia duduk di teras rumah Fani.
Wa’alaikum salam,” jawab Bu Yuyun yang segera keluar dari rumahnya.
“Yun! Yudita mana?” tanya Bu Yanti.
“Yudita pergi sama Fani dan Afnan ke taman kota untuk melihat acara bedah film, Yan,” jawab Bu Yuyun.
“Kapan? Barusan aku meneleponnya melalui nomor Afnan. Dia bilang kalau dia di sini.”
“Sudah dari tadi.”
“Ya Allah.. Apa jadinya anakku ini? Dia berani berbohong denganku. Mungkin karena pengaruh teman dekatnya,” sindir Bu Yanti.
“Maaf, Yan. Anakku tak pernah mengajak anakmu untuk berbuat yang tidak baik,” ucap Bu Yuyun tegas.
Lha, kalau bukan teman dekatnya siapa lagi? Sekarang coba kamu telepon Fani. Yudita tidak membawa handphone,” pinta Bu Yanti.

Bu Yuyun pun langsung mengambil handphone nya. Lalu ia menghubungi anaknya, Fani.

“Tidak diangkat, Yan,” kata Bu Yuyun setelah menunggu jawaban dari Fani.
“Kan sudah kubilang. Anakmu harus benar-benar kamu didik, Yun. Kamu telepon saja tak diangkatnya,” ucap Bu Yanti.
“Mungkin dia sedang di jalan. Coba nanti kamu telepon dia,” ucap Bu Yuyun. Ia tak mau kalau anaknya disalahkan.

Beberapa menit kemudian, Bu Yanti menghubungi Fani.

“Nah, lho. Dimatikannya, Yun. Mungkin ia sengaja menolak panggilanku. Ia mungkin takut kalau aku marah padanya. Jangan-jangan dia memaksa anakku agar ikut dengannya ke taman kota dan bohong padaku. Aduh! Apalah jadinya anakku ini..” ucap Bu Yanti.

Bu Yuyun terdiam. Di satu sisi, ia ingin membela anaknya. Selama ini Fani tak pernah berbohong kepada Bu Yuyun. Tapi, di sisi lain bisa jadi Bu Yanti benar. Fani yang tergolong ramah dengan orang lain bisa saja terpengaruh oleh teman-temannya sehingga ia bisa berperilaku seperti yang telah dikatakan Bu Yanti.

Tak lama kemudian, Bu Yanti pamit. Sedangkan Bu Yuyun pergi ke teras rumahnya untuk menunggu Fani yang belum pulang.

***

Mentari pagi menampakkan wajahnya. Sinarnya yang terang benderang menguapkan embun-embun yang hinggap di kaca jendela kamar Fani. Jam enam, Fani sudah siap dengan seragam putih abu-abunya. Tak seperti biasanya, Senin ini ia tidak pergi bersama Yudita. Setelah pamit dengan ibunya, ia mengambil sepeda motornya di garasi rumah dan langsung pergi menuju sekolah.

“Hai, Fan! Kenapa kamu nggak nebeng sama aku? Tadi aku ke rumahmu,” tanya Yudita yang baru datang.
“Mulai hari ini aku pergi sendiri saja. Terima kasih atas tumpangannya selama ini,” jawab Fani yang sedang membaca buku di bangkunya.
“Oh, begitu. Bagus, dong!” kata Yudita.

Fani hanya diam. Ia tak mau terlalu banyak bicara dengan Yudita. Dibolak-balikkannya lembaran-lembaran buku pelajarannya.

“Ting tong! Ting tong! Ting tong!” bel masuk berbunyi. Tak lama kemudian, Bu Yana masuk ke dalam kelas. Hari ini akan diadakan ulangan harian pertama mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Siswa di kelas itu langsung mengumpulkan semua buku yang berbau PKn ke atas meja Bu Yana. Ulangan pun dimulai. Bu Yana membacakan soal. Setelah selesai, siswa di dalam kelas itu sibuk berpikir dan menuliskan jawaban di atas selembar kertas. Tak terkecuali Fani. Ia berusaha mengingat-ingat tulisan yang telah dibacanya tadi pagi. Matanya menerawang langit-langit kelas, lampu, kipas angin, pintu, jendela, dan hup! Tiba-tiba matanya menangkap pemandangan yang tak menyenangkan hatinya.

“Ehm! Ehm!” Fani mendehem dengan kedua tangannya menggenggam di dekat mulutnya. Yudita yang merasa tersindir langsung memasukkan kertas contekannya ke dalam laci mejanya.
“Ada apa, Fan?” tanya Bu Yana. Ia heran melihat tingkah Fani yang cukup aneh hari ini.
“Tenggorokan saya sakit, Bu,” jawab Fani mengelak. Walau bagaimanapun, ia tak tega melaporkan teman masa kecilnya yang hobi berdusta itu kepada Bu Yana.
“Ooh.. Itu tandanya kamu harus banyak minum air putih. Lain kali kamu bawa air dari rumah seperti Afnan,” saran Bu Yana. Fani langsung melirik wajah Afnan yang sedang mengembangkan senyuman sambil menaik-turunkan alis kirinya yang hampir tak kelihatan.
“Iya, Bu,” kata Fani sambil menganggukkan kepala dan menahan tawa. Ia geli hati melihat tingkah Afnan.

Sayangnya, tingkah Afnan yang dapat menghibur hati Fani tak dapat bertahan lama. Kebencian kembali merasuki hatinya. “Saya tidak sakit tenggorokan, Bu! Saya sakit hati!” jerit batinnya.

Setelah berusaha untuk menata hati, Fani kembali menjawab soal ulangan. Sesekali ia melirik ke arah Yudita yang kembali membentangkan kertas contekan di pangkuannya dan menyalin tulisan di dalamnya. Fani pun bertingkah seperti cacing kepanasan. Ia ingin waktu ulangan segera habis agar tidak ada lagi pemandangan yang ‘mengompori’ perasaannya.

Akhirnya jam pelajaran PKn pun usai. Tak berselang lama setelah Bu Yana keluar, Pak Karia pun masuk ke dalam kelas. Pak Karia yang mengajar palajaran Kesenian menugaskan siswa di kelas itu untuk membuat sebuah gambar perspektif. Fani yang jago menggambar pun sibuk menggoreskan grafit pensilnya ke atas kertas putih polos. Sesekali ia berjalan untuk melihat-lihat karya temannya agar mendapatkan inspirasi. Lagi-lagi matanya menangkap pemandangan yang benar-benar tak menyenangkan. Sebuah benda di tangan Yudita yang menyendiri di pojok ruangan mengalihkan perhatian Fani dari kertas tugasnya.

“Ehm! Kita sedang di kelas atau di rumah ya?” sindir Fani dengan suara agak keras. Pak Karia dan seluruh siswa di kelas itu pun menoleh ke arah Fani.
“Ya di sekolah, Fan,” jawab Afnan yang bingung dengan pertanyaan Fani. Yudita yang merasa tersindir langsung menyurukkan handphone nya ke dalam saku bajunya.

Hari demi hari Fani lalui dengan pemandangan yang tak menyenangkannya. Yudita semakin cuek dengan perbuatan yang ia lakukan. Fani pun sudah bosan menyindir Yudita. Sekarang, Fani lebih banyak diam. Jika tak ada hal penting yang memaksa Fani untuk berbicara dengan Yudita, Fani tak akan mengucapkan sepatah kata pun.

Tibalah saat pembagian Laporan Hasil Belajar semester genap. Fani mendapat peringkat tiga di kelasnya. Sedangkan Yudita mendapat peringkat empat. Tapi, alangkah terkejutnya Fani saat mengetahui bahwa nilai mereka berdua sama. Ia tak menyangka, kejujurannya selama ini dalam mengerjakan ulangan dibayar sama rata dengan kertas ulangan Yudita yang bernilai dusta. Kebencian Fani kepada Yudita pun membludak di relung-relung hatinya dan kini berubah menjadi rasa dendam.

Afnan yang mendapat peringkat kedua pun berinisiatif untuk menasihati dan menghibur Fani.

“Fan, selamat atas prestasimu,” ucap Afnan sambil menyalami tangan Fani.
“Kamu mengejekku ya?” tanya Fani.
“Tidak, Fan. Selamat atas prestasimu mempertahankan kejujuran. Kamu hebat, Fan! Kamu tetap jujur walaupun hatimu dikemeluti oleh kebencian.”
“Tapi aku tak rela nilaiku sama dengan nilainya.”
“Sudahlah, Fan. Kejujuran lebih berharga dari pada nilai rapor. Tetaplah menjadi Fani yang jujur di kelas dua belas nanti ya..” ucap Afnan sambil menepuk bahu Fani.
Thanks, Af!” ucap Fani sambil merangkul Afnan.

Sebulan kemudian, ratusan siswa pun ‘dinobatkan’ menjadi siswa senior. Fani, Afnan, dan Yudita menempati kelas yang sama. Di kelas dua belas ini, Fani memacu dirinya untuk terus berprestasi karena persaingan semakin ketat. Sedangkan Yudita sekarang berteman dengan pendusta lain dan sibuk melakukan kegiatan yang tiada berguna, sehingga nilainya pun merosot jauh. Hingga tibalah saat pembagian Laporan Hasil Belajar semester ganjil, Fani dan Afnan menempati posisi yang sama dengan sebelumnya. Sedangkan Yudita keluar dari sepuluh besar. Fani sangat bersyukur karena Allah memberikan pelajaran terbaik kepadanya. Dirinya berjanji untuk selalu menjadi orang yang jujur. Tentunya dengan cara berteman dengan orang yang jujur pula. Kini, Afnan menjadi sahabat pilihannya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar